Senin, 01 September 2014

Dusun Tanjung enim dan Desa Lingga adalah dua beradik Puyang (Nenek Moyang)

 
Sekitar abad 7-8 masehi, pada masa kejayaan kerajaan Sriwijaya yang saat itu menjadi kerajaan maritim terbesar, dimana wilayah kekuasaanya sangat luas hingga ke Madagaskar (India). Pada masa itu sudah ada kehidupan masyarakat di sekitar Kute Darussalem yang terletak di seputar Air Setrip (yang sekarang menjadi tambang Bangko Barat, milik PTBA Tbk). Diwilayah sekitarnya juga banyak perkampungan yagn berbatasan sebelah utara dengan Kabupaten OKU dan selatan dengan Kabupaten LIOT. Namun kini perkampungan tersebut sudah hilang, meskipun bukti-bukti sejarah peninggalan masih seringkali ditemui. Misalnya, seringkali terdengar suara bunyi-bunyi tabuh-tabuhan keromongan dan kokok ayam. Daerah tersebut masih termasuk wilayah kekuasaan Adipati Carang Sakti (Rie Carang).
Konon, sekitar abad 15 masehi sudah ada kehidupan manusia di daerah Muara Hipas sampai Nanjungan Bahembang (sekitar buluran sekarang) yaitu daerah yang berbatasan dengan Tebing Tanah Putih. Letak daerah tersebut secara geografis sudah layak untuk kehidupan. Daerah inilah kemudian yang dikenal dengan Kute Tanjung Ayek Hening. Sebuah wilayah yang dihuni oleh nenek moyang (puyang) dusun Tanjung dan Lingga.
Perkembangan penduduk yang begitu pasti membawa dampak yang cukup besar bagi masyarakat Kute Tanjung Ayek Hening (Tanjung Enim). Akibatnya, daerah hunian mereka terus meluas hingga kedataran Tanjung Buhuk. Waktu itu daerah ini belum terpisahkan oleh sungai Ayek Hening.
Pada sekitar tahun 1373 aliran sungai Ayek Hening mengalami pemisahan. Penduduk Ayek Hening yang awalnya satu dusun, waktu itu dipisah menjadi dua yaitu penduduk dusun Tanjung Merindu (Tanjung Buhuk sekarang) dan dusun Lingga (daerah Bahebang).
Nama dusun Tanjung Merindu berawal dari cerita yang berkembang di masyarakat sekitar. Konon , jika ada penduduk dusun ini yang pergi merantau ke daerah lain, pasti orang tersebut ingin kembali ke Tanjung Merindu. Kata Tanjung sendiri berarti tanah datar yang menjorok ke air sungai. Tanjung merindu artinya tanah datar yang di kelilingi air hening (air yang jernih dan tenang) yang selalu di rindukan banyak orang.
Dalam kurun waktu yang tidak di ketahui pasti penduduk dusun Lingga pindah ke arah Ulak, yaitu ke arah dataran Muara Kaput (daerah dusun Lingga yang sekarang). Menurut cerita orang perpindahan penduduk tersebut disebabkan daerah sebelumnya (Bahebang) seringkali terkena banjir dan tanah longsor. Berdasarkan petunjuk para tetua dusun pada waktu itu mereka harus pinadah ketempat lain yang telah ditentukan. “ hai orang-orang penduduk Lingge, kalau kamu sekalian ingin aman dan terhindar dari musibah, hendaklah kamu semuanya pindah tempat ke Ulak dusun Tanjung Merindu. Dikarenakan asal muasal puyang kamu adalah Kelawai dari puyang Tanjung Merindu, memang lebih tue kamu, tapi kamu betine “, ungkap tetue dusun tersebut.
Konon kabarnya, piyang dusun Lingga dan puyang Tanjung Merindu (Tanjung Enim) adalah satu keluarga, kakak beradik. Adat istiadatnyapun tidaklah berbeda. Misalnya, anak muanai (anak laki-laki) adalah peneris jurai dan kedudukanya meraje. Setiap mperilaku dan perkataan meraje harus di perhatikan dan dihormati, bahkan tidak boleh di langgar. Kelawai (anak perempuan) tidak boleh berkata kasar kepada meraje. Jika meraje merasa tersinggung dengan perbuatan kelawai dan meraje sampai bersumpah, maka hal ini akan berakibat tidak baik sehingga terjadi musibah pada keluarga kelawai.
Adat istiadat tersebut berlaku bagi penerus jurai masing-masing dusun Tanjung Enim, begitupun masyarakat Dusun Lingga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar